Copas dari http://situslakalaka-2.blogspot.com/2012/01/saat-sahabat-kecilku-dipanggil.html
Sangat menginspirasi….
————————————————————————————-
Saat Sahabat Kecilku, Dipanggil Bergiliran Ke Syurga
Aku tersenyum-senyum sambil menggenggam erat tas daur ulang besar
yang kubawa. Setumpuk buku cerita, mainan, topi-topi lucu, buku mewarnai
dan beberapa krayon memenuhi tas itu. Minggu ini aku membawa lebih
banyak dari biasanya.
Tulisan-tulisanku yang mengisi berbagai media majalah anak-anak
banyak dimuat bulan kemarin, hingga aku bisa membelikan anak-anak
sahabat kecilku berbagai pesanan mereka. Ditambah pula beberapa buku
cerita oleh beberapa sahabatku yang sudah tahu kegiatan bulananku ini.
Ah, pasti mereka senang bisa mendapatkan lebih banyak dari biasanya.
Lumayanlah buat menghibur hati mereka.
Semuanya berawal dari ujian yang berat beberapa bulan lalu, saat
dokter mengatakan aku terkena kanker indung telur. Untunglah setelah
menjalani operasi pengangkatan salah satu indung telurku, aku bisa
selamat. Meskipun begitu, aku harus rutin memeriksakan diri.
Di masa-masa itulah, aku berkenalan dengan anak-anak manis penderita
kanker darah. Kami bertemu tidak sengaja di playground area di rumah
sakit. Saat itu, aku sedang sangat sedih karena harus kehilangan salah
satu indung telurku. Kehilangan 50% kesempatan memiliki anak. Memang aku
belum memiliki kekasih, tapi aku sangat suka anak-anak dan saat dokter
mengatakannya dengan jelas bahwa kemungkinan aku akan sedikit sulit
memiliki anak, aku jadi sangat sedih dan tanpa sengaja terus berjalan
hingga ke playground area itu.
Anak-anak itu tertawa, saling melempar cerita dengan tangan
terbelenggu selang infus. Dengan ceria, mereka bernyanyi dan saling
menghibur ketika anak lain tampak lebih sakit. Senyuman di wajah pucat
dengan kepala plontos menghias merata di ruanganplayground itu,
menegurku secara tak langsung. Mereka mengingatkanku bahwa kesempatanku
jauh lebih berharga dibanding mereka tapi mereka lebih bisa
mensyukurinya.
Dan sejak itulah, aku tetap datang. Bukan sebagai pasien lagi, aku
memilih menjadi sahabat anak-anak itu. Setiap senin minggu ke dua atau
ke empat, aku selalu meluangkan waktu datang dan bermain bersama mereka.
Setiap kali ada rezeki berlebih dari hasil menulis, aku membeli
beberapa krayon atau buku mewarnai dan membaginya pada anak-anak itu.
Rezekiku tak pernah berkurang, justru bertambah karena anak-anak ini
memberiku lebih banyak inspirasi. Kini beberapa sahabat turut serta dan
ikut menyumbang. Kalau dulu sering melihat kekecewaan karena tidak
kebahagiaan, sekarang semua itu hampir tak ada. Malah kadang-kadang
bawaanku bersisa, dan biasanya kujadikan tambahan untukplayground area
rumah sakit itu.
Ting! Suara pintu lift membuyarkan lamunanku. Aku sudah sampai di
lantai yang kumau. Dengan langkah cepat aku menuju ruang playground
area. Beberapa wajah yang kukenali langsung melambaikan tangan saat
melihatku, beberapa berteriak memanggil dengan gembira, “Bundaaa
datang!!” aku tersenyum lebar dan menghampiri mereka. Kusalami satu
persatu, menyebutkan nama dan memeluk mereka. Kulihat beberapa wajah
baru dan mendekati mereka.
“Siapa namanya, sayang?” tanyaku lembut pada seorang gadis kecil bermata besar yang rambutnya hampir habis.
“Mamaaa,” anak itu malah memeluk ibunya dengan takut-takut menatapku.
Aku berlutut, kukeluarkan sebuah buku mewarnai dan krayon. Sambil
tersenyum, kusodorkan kedua barang itu padanya, “Bunda bukan perawat,
sayang. Bunda datang ke sini buat ngajarin anak-anak manis mewarnai. Nah
ini buat adik, kalau nanti sudah nggak takut boleh gabung di situ.
Ambillah!” ujarku. Anak itu masih menatapku, tapi tangannya terulur
menerima pemberianku.
Aku akan beranjak ketika terdengar suara, “Cici. Nama saya Cici!” aku
menoleh kembali. Gadis kecil itu menatapku, ada keinginan jelas di
matanya kalau ia tertarik bergabung denganku. Aku mengangguk dan
mengulurkan tangan, anak itupun berdiri lalu menggenggam erat tanganku.
Satu lagi sahabat kecilku bertambah. Aku menggendongnya menuju salah
satu sudut di mana sahabat-sahabat kecilku yang lain sedang menanti.
Kududukkan Cici di sisiku. Lalu aku memanggil satu persatu
sahabat-sahabat kecilku. Anak-anak itu melonjak gembira, sejenak lupa
pada penyakit mereka saat menerima hadiah kecilku. Setelah selesai, aku
melihat beberapa anak yang sudah mengidap kanker pada stadium lanjut
menatap iri dari kursi rodanya. Aku berdiri, membagikan buku cerita baru
dan memasang topi lucu pada mereka. Kuminta pada pendamping mereka,
biasanya ayah dan ibunya untuk membacakannya. Ada binar di bola mata
anak-anak itu saat aku memberikannya. Sungguh luar biasa perasaan ini
melihat kegembiraan sesaat itu.
Aku membimbing anak-anak mewarnai. Dengan sabar, aku menjelaskan
warna yang bagus untuk buku mewarnai mereka. Walaupun terlihat aku
mengajari mereka, sesungguhnya merekalah yang mengajariku. Mereka
mengajariku tentang ketabahan, kedewasaan dan kepolosan dalam menghadapi
ujian penyakit mereka.
“Bunda, sudah selesai!” sebuah suara terdengar dari belakangku. Aku
kembali menoleh, Theo, salah satu sahabat kecilku menatapku dengan
tangan memamerkan buku yang sudah diwarnai tuntas. Kuraih buku itu dan
melihatnya. “Waah, bagus sekali warnanya!” pujiku tulus. Theo memang
penggemar berat mewarnai. Selain cepat, ia bisa mewarnai dengan memadu
padan warna begitu indah.
“Bunda, ini Theo balikin,” kata Theo sambil menyodorkan kotak berisi krayon yang baru kuserahkan.
Keningku mengernyit, “loh kenapa? Tadi kata Mama, krayon Theo hampir habis.”
Theo menghela nafas, “Punya Theo masih bisa dipakai. Sayang kan kalau yang ini nanti akan dibuang. Biar buat yang lain saja.”
“Kenapa harus dibuang, Theo? Kan Theo suka mewarnai,” tanyaku bingung.
“Bunda, Theo mungkin gak lama lagi dapet giliran ke surga. Belakangan
ini Theo makin sering mimisan dan pingsan. Theo takut kalau nanti Theo
ke surga, barang-barang Theo dibuang. sayang kan bun?”
Aku terpana. Kata-kata Theo bagai gong besar di telingaku. Anak-anak
ini memang terbiasa menggunakan istilah giliran ke surga sebagai
pengganti kata “meninggal dunia”. Aku bingung mesti menjawab apa,
apalagi kulihat di belakang Theo terlihat mataMama Theo mulai
berkaca-kaca saat mendengar jawaban anaknya.
Kusembunyikan rasa sedih dalam hatiku dengan tersenyum, “sini deh,
Theo. Bunda ngasih krayon buat Theo, bukan hanya agar Theo senang karena
bisa mewarnai. Tapi Bunda juga ingin karya Theo bisa meninggalkan
kenangan buatMama Theo, buat Bunda, buat teman-teman Theo di sini.
Jadi kalau memang giliran ke surga jatuh pada Theo, kami di sini bisa
mengenang Theo yang manis dan pandai mewarnai,” aku menarik nafas agar
bisa tetap mengendalikan emosiku lalu kembali menyambung, “Theo, buat
kami semua Theo adalah bagian dari hati kami, jadi apapun barang milik
Theo tidak akan ada yang dibuang.
Jadi Theo jangan takut ya, pakailah!” aku kembali mengulurkan krayon
itu pada Theo dan Theo menerimanya dengan anggukan. Ia melangkah
mendekati Mamanya dengan tertatih. Aku buru-buru menghapus airmataku
yang mulai menggenang.
Anak-anak ini memang sering membuatku seperti itu. Pembicaraan mereka
bukanlah pembicaraan biasa. Kematian, rasa sakit, obat kanker,
kemoterapi sampai kepala botak adalah hal biasa. Kadang mereka membuat
model rambut unik di sisa-sisa rambut yang tertinggal agar dianggap
lucu. Bagi mereka, kematian adalah proses perjalanan lain setelah hidup
dan menerimanya sebagai pembebasan dari rasa sakit panjang mereka.
Berat rasanya melihat orang-orang yang kita sayangi, menjalani sakit
yang luar biasa lalu menceritakannya seakan-akan itu adalah hal biasa
terjadi. Dan aku hanya bisa melakukan hal kecil ini, menghibur dan
mengisi hati mereka yang membosankan, membuat waktu singkat itu menjadi
suatu kenangan luar biasa untuk orang-orang yang menyayangi mereka.
Beberapa minggu kemudian, aku menerima sebuah hadiah dari Mama Theo.
Dengan mata sembab karena menangis, ia menyodorkan beberapa buku
mewarnai yang sudah selesai diwarnai. “Ini dari Theo, Bunda. Ia meminta
saya memberikannya pada Bunda kalau giliran ke surganya tiba. Diterima
ya Bunda, semoga bisa menjadi pembangkit semangat buat Bunda agar tetap
memberi anak-anak lain semangat yang sama seperti Theo. Terima kasih
karena sudah memberikan harapan dan hiburan buatnya selama ini.”
Airmataku meleleh tak terbendung. Kuambil hadiah itu dengan tangan
gemetar, “Theo… kapan, kapan dia pergi, Mama?” tanyaku setengah tak
percaya.
“Kemarin, tiga jam setelah kemoterapi. Dia meninggalkan kami… dia
meninggal dalam tidurnya, Bunda,” dan sekali lagi airmata Mama Theo
membasahi pipinya, aku memeluknya dan bersama kami menangis. Sama
seperti saat-saat lain ketika bunda-bunda lain menyampaikan berita itu
padaku, saat sahabat-sahabat kecilku dipanggil bergiliran ke surga.
Buat Semua Ibu yang selalu mendampingi putra-putri mereka saat sakit :
Semoga Allah SWT tetap memberi kalian semangat dan kekuatan… terutama Bunda-Bunda di Dharmais, senang berbicara dengan kalian. Optimis dan selalu tabah! (bundaiin)
Semoga Allah SWT tetap memberi kalian semangat dan kekuatan… terutama Bunda-Bunda di Dharmais, senang berbicara dengan kalian. Optimis dan selalu tabah! (bundaiin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar